Kamis, 04 Juni 2009

Polisi Butuh Kerjasama Ungkap Pornografi Anak

Hukumonline.com, Dalam mengungkap dan memproses secara hukum kasus-kasus pornografi anak, polisi masih mengandalkan kerjasama. Pengungkapan kasus pornografi anak yang dilakukan Tony Gerald Ainscough, Peter Walbran, dan Peter Smith berhasil diungkap setelah ada kerjasama antara Unit V/IT dan Cybercrime Bareskrim Mabes Polri dengan Polisi Federal Australia.

Tony Ainscough, Peter Walbran, dan Peter Smith adalah tiga warga negara Australia yang diduga melakukan pornografi anak di Indonesia. Ainscough yang melakukan pornografi terhadap anak kandungnya sendiri akhirnya dideportasi. Peter Walbran, pria yang diduga melakukan kejahatan pornografi anak dengan korban tersebar di Jakarta, Bali, dan Lombok akhirnya tidak bisa diekstradisi ke Indonesia. Lain halnya Peter Smith, yang akhirnya dihukum pengadilan Indonesia 10 tahun penjara. Yang pasti, ketiga kasus berbeda ini berhasil dibongkar setelah ada kerjasama antar polisi kedua negara.

“Polisi masih andalkan kerjasama,” kata AKBP Laksmi Damayanti, penyidik madya Unit V/IT dan Cybercrime Mabes Polri dalam seminar Online Child Pornography di kampus Universitas Indonesia, Rabu (03/6) pagi. Menurut Laksmi, penyidik Indonesia juga masih menghadapi kendala saat mengungkap pornografi anak melalui dunia maya. Selain butuh sumber daya manusia, penyidik membutuhkan dana besar untuk masuk ke sistem yang dibangun pelaku pornografi anak di dunia maya. Agar dapat mengungkap jaringan, misalnya, polisi harus menjadi member, bahkan membeli produk yang dihasilkan jaringan kejahatan di dunia maya.

Bentuk kerjasama lain yang ikut mendorong pengungkapan dan penuntasan kasus di dunia maya, termasuk pornografi, adalah kesepahaman aparat penegak hukum. Diakui AKBP Laksmi, polisi, jaksa, dan hakim masih sering berbeda pandang kalau menyangkut dunia maya. Ia mencontohkan kasus-kasus cybercrime yang ditangani Mabes Polri selama ini acapkali memunculkan perdebatan polisi dan jaksa tentang locus delicti. Polisi menganggap locus delicti ada di komputer yang dijadikan barang bukti atau di daerah dimana barang bukti kejahatan itu disita.

Dalam dunia maya, locus delicti terkait dengan server. Di sinilah masalah muncul, karena server yang dipakai melakukan kejahatan di Indonesia berada di luar negeri. “Demi pertimbangan lebih aman dari jangkauan hukum,” kata Donni Budi Utomo, aktivis ICT Watch yang juga dosen teknologi komunikasi Universitas Pelita Harapan.

“Masa kita sebagai penyidik diminta ke luar negeri untuk memeriksa server,” kata Laksmi. Permintaan jaksa untuk langsung memeriksa server di luar negeri sulit dilakukan. Akibatnya, proses penanganan kasus-kasus cybercrime berjalan lamban.

Kendala ini juga diakui kriminolog Universitas Indonesia Ni Made Martini Putri. Dalam pornografi anak di dunia maya, masalah yang muncul antara lain adalah legalitas gambar. Agar dapat dikatakan bermuatan pornografi, harus ada viktimisasi. Lantas, apakah pseudo-image yang tercipta karena kecanggihan teknologi bisa dikategorikan sebagai pornografi? Celakanya, internet mengubah pola peredaran pornografi anak dari yang tercatas dan eksklusif menjadi tanpa batas dan mudah diakses. Fakta lain yang turut memperparah kondisi ini adalah hukum. “Faktanya, regulasi terhadap internet tidak mudah,” kata dosen FISIP Universitas Indonesia itu.



0 komentar:

Posting Komentar

Suara Merdeka CyberNews