Jumat, 10 Juli 2009

Kebenaran Kecil dan Kebenaran Besar

(Menyikapi ungkapan mengenai adanya bilangan DPT palsu di Bangkalan dan Sampang Jatim Dalam Pemilu Legislatif 2009). (Oleh Zulkarnain Divisi Humas Polri) 
Kisah Tentang Sebagian Kebenaran.

Beberapa waktu yang lalu, pada tanggal 9 Februari 2009, Presiden dan Kepala Negara R.I SBY bercerita dalam suatu acara ulang tahun salah satu organisasi wartawan. Isi ceritanya sebagai berikut :
Di negeri Cina pada masa Khong Hu Chu ada sebuah kisah tentang suatu kebenaran. Khong Hu Chu sebagaimana diketahui adalah orang yang cerdik, pandai serta arif dan bijaksana. Karena “keistemewaan” sebagai salah satu umat manusia Khong Hu Chu dalam perjalanan sejarah umat manusia menjadi “nabi” bagi agama Khong Hu Chu itu sendiri.
Khong Hu Chu memiliki banyak murid yang salah satunya murid yang amat pandai saat itu bernama Shun Tse dan ada juga yang tidak pandai (dalam kisah ini tidak diberitahukan namanya). Suatu ketika murid yang pandai ini si Shun Tse berdebat dengan murid yang tidak pandai tentang masalah yang sederhana yaitu hitungan atau bilangan 3X8 itu berapa. Shun Tse tentu menyatakan 3X8 itu adalah 24, tetapi murid yang tidak pandai menyatakan lain bahwa 3X8 adalah 23. Dalam kisah ini dikatakan terjadi suatu perdebatan yang cukup sengit diantara mereka dan akhirnya mereka sepakat untuk membawa persoalan tersebut kepada guru mereka Khong Hu Chu. Kedua murid tersebut sampai “tarohan”, isi tarohan mereka bila 3X8 adalah betul 23, maka murid yang pandai si Shun Tse akan melepaskan tutup kepala atau topinya di depan gurunya. Dimasa itu tutup kepala sebagai perlambang bagi orang yang memiliki predikat cerdik dan pandai. Dan jika saja 3X8 adalah betul 24, maka murid yang tidak pandai tadi akan memotong kepala di depan Shun Tse dan gurunya.
Ketika mereka berdua tiba di depan sang guru Khong Hu Chu, si murid yang pandai Shun Tse menjelaskan perdebatan mereka. “Guru kami yang mulia”, saya dan teman saya ini ada perdebatan tentang suatu bilangan hitungan, yaitu 3X8 itu berapa ?, jika saja 3X8 itu benar 24 maka teman saya ini bertaruh kepada saya akan memotong kepalanya di depan saya, dan jika 3X8 itu benar 23 sesuai pendapat teman saya ini, maka saya ditarohi oleh teman saya untuk membuka tutup kepala saya di depan Guru.
Sejenak sang Guru Khong Hu Chu terdiam seakan berpikir cukup dalam untuk menjawab persoalan kedau muridnya tersebut. “Murid-muridku”, hanya itukah persoalan kalian ?. Kedua murid tersebut mengangguk-angguk cukup dalam dan saling pandang. Sejenak kemudian sang Guru menjawab; “Murid-muridku, bilangan 3X8 tentu saja 23”, jawab sang Guru dengan pelan dan sedikit lirih.
Tidak ada diskusi lagi, setelah jawaban sang Guru tersebut si murid yang pandai Shun Tse dengan wajah terkejut dan tersentak melepaskan tutup kepalanya serta meletakkan didepan gurunya sambil berujar; “Baiklah Guru kalau demikian”, saya lepaskan tutup kepala saya di depan Guru dan sekaligus saya akan mengundurkan diri dari perguruan ini, mulai hari ini saya akan mencari tempat belajar di padepokan lain yang cocok denganku.
Sebelum Shun Tse beranjak dari tempat duduknya, sang Guru Khong Hu Chu berpesan, “Baiklah jika demikian muridku”, jawab Guru tentu sambil lirih. Aku hanya berpesan kepadamu, “Tidak seberapa lama setelah kamu berjalan meninggalkan padepokan ini, akan turun hujan yang amat lebat sekali. Dalam perjalanan itu kamu akan menemukan sebuah pohon amat besar dan rindang. Aku sarankan kepadamu, janganlah kamu mencoba berteduh dibawah pohon itu, karena tidak seberapa lama pohon itu akan disambar petir dan akan roboh serta meluluh lantakkan apapun yang ada dibawahnya...”. Shun Tse berkata, “baiklah Guru dan temanku, aku pamit”. Kemudian setelah membereskan beberapa potong pakaian, Shun Tse berangkat meninggalkan padepokan dimana tempat ia selama ini menimba ilmu atau sebagai kancah pembelajaran baginya.
Tidak seberapa lama setelah Shun Tse meninggalkan padepokan yang penuh kenangan ini, yang telah menghantarkannya sebagai murid yang pandai serta berhak menggunakan “tutup kepala”, turunlah hujan yang amat deras. Hujan tersebut kemudian diiringi oleh halilintar serta kilat yang sahut-menyahut dan sambar-menyambar membuat hati Shun Tse merasa ciut dan ngeri. Tidak seberapa lama kemudian, Shun Tse menemukan pohon yang amat besar dan lagi rindang. Hasrat hati Shun Tse ingin berteduh, tetapi ia teringat pesan sang Guru untuk tidak berteduh, maka Shun Tse mengurungkan hasrat tersebut. Betul saja, tidak seberapa lama petir yang sahut menyahut tadi menghantam pohon besar tersebut dan dalam sekejab pohon roboh dan meluluh lantakkan apa yang ada dibawah serta sekitar pohon tersebut. Shun Tse terkesimak dan termenung melihat fenomena alam yang sungguh sama dengan pesan gurunya sebelum Ia meninggalkan padepokannya. Ia berpikir, sungguh ada sesuatu makna dalam setiap kata-kata gurunya.
Kemudian dikisahkan ShunTse kembali kepadepokannya untuk menemui gurunya Khong Hu Chu. Ketika Ia bertemu kembali gurunya Ia mengemukakan akan kebenaran kata-kata dan pesan gurunya sebelum Ia meninggalkan padepokan. Kemudian Shun Tse menyampaikan hasratnya untuk berguru kembali, tetapi sebelumnya Shun Tse bertanya kepada gurunya. “Guru”, aku ingin tahu mengapa guru menyatakan 3X8 itu adalah 23, padahal kita semua tahu 3X8 itu sesungguhnya 24 ?, tanya Shun Tse dengan penuh harap jawaban. “Baiklah Shun Tse”, jawab gurunya penuh dengan penekanan. “Hitungan bilangan 3X8 memang betul 24, itu adalah kebenaran kecil, sedangkan 3X8 saya katakan 23 saat itu !, itu adalah kebenaran besar”. Kau akan menyesal seumur hidupmu jika ketika itu saya katakan bilangan 3X8 adalah 24, temanmu akan memotong kepala didepanmu, tidakkah itu kebenaran besar.

Polisi Jangan Menjadi Pemicu Konflik Sosial.

Sejak beberapa tahun yang lalu, senior-senior kita, komendan-komendan kita, beberapa guru kita di lembaga pendidikan sering berpesan tentang tindakan-tindakan kita dilapangan janganlah menjadi “trigger” atau pemicu terjadinya atau berlangsungnya konflik sosial dimana tempat kita bekerja. Kita masih ingat kerusuhan pengrusakan oleh massa pada beberapa kantor Polisi di Tasik Malaya beberapa tahun silam, yang dipicu oleh masalah relatif sepele yaitu seorang Kopral Polisi saat itu menempeleng guru ngaji anaknya yang kemudian peristiwa itu dipolitisasi sehingga terjadinya kerusuhan di kota santri tersebut. Kemudian di Lampung beberapa tahun silam, terjadi kasus pengrusakan dan pembakaran kantor salah satu Polsek karena di picu oleh kesalahan penangkapan tersangka pencurian sepeda motor bernama Budi dan komunikasi dari anggota jaga yang arogan dan merendahkan martabat keluarga Budi. Kemudian belakangan diketahui Budi tersebut bukanlah Budi sebagai tersangka pencurian sepeda motor, tetapi Budi yang lain. Kemudian kantor Polsek dan asrama habis dibakar oleh massa sampai rata dengan tanah.
Kondisi saat ini tentu saja masih sangat mungkin bahwa tindakan-tindakan kepolisian yang dilakukan oleh personal secara pribadi anggota Polisi, menjadi pemicu atau trigger konflik atau bahkan persoalan-persoalan bangsa maupun persoalan-persoalan di daerah. Dalam bahasa kearifan manajemen, guru-guru kita mengingatkan, seharusnya anggota Polisi “menyelesaikan masalah dengan tidak menimbulkan masalah”.

Ungkapan Tentang Adanya Bilangan DPT yang Digelembungkan di Jatim.

Seperti banyak kita ketahui dari publikasi media massa bahwa persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) disetiap kegiatan Pemilu legislatif maupun Pemilu Kada menjadi isue yang “hangat”. Belakangan ini “kehangatan” itu menjadi lebih hangat lagi ketika isue pengelembungan DPT diangkat oleh seorang senior polisi mantan Kapolda Jatim Irjend. Pol. Drs. Herman S.S, padahal yang diangkat hanya DPT di dua Kabupaten dari Provinsi Jatim saja yaitu Kabupaten Bangkalan dan Sampang (Media Indonesia, 25 Maret 2009, hal. 11). Dalam pemberitaan itu bilangan DPT yang digelembungkan sebanyak 345.034 atau sebesar 27,165 % dari 1.244.619 DPT.
Sosok personal Bapak Herman S.S, adalah sosok yang kebetulan selama ini menjadi “idola” bagi penulis, tetapi setelah kejadian ini tentu saja membutuhkan koreksi untuk kebaikan person penulis. Bagi penulis, mungkin juga rekan-rekan polisi yang lain, dalam kehidupan profesi ini memiliki idola. Ketika penulis tamat Akpol tahun 1985 misalnya, idola saya saat itu adalah sosok Kapolda Jatim Bapak Wiek Jatmika dan sosok Kapolri Bapak Anton Sudjarwo dengan segala kelebihan “performance” mereka. Saking menjadi idolanya, photo besar mereka saya pampangkan di ruang tidur yang dapat saya lihat setiap akan tidur dan dipagi hari setelah saya bangun tidur. Tetapi kemudian idola itu bisa berubah, ketika saya sekolah di PTIK dan mendapat pembelajaran tentang sejarah kepolisian serta membaca literatur tentang sosok mantan Kapolri, maka idola saya berubah kepada sosok Bapak Hoegeng. Saking menjadi idolanya, penulis pada saat menjabat Kapolsek Menteng pernah bertamu dan berrtemu dengan Bapak Hoegeng dikediamannya jalan Sutan Syahrir Jakarta Pusat ditahun 1995. Pak Hoegeng waktu itu merasa terheran-heran, mengapa saya berani bertamu dan berjumpa dengan beliau dengan pakaian dinas. Bahkan beliau bertanya, akankah kedatangan saya mempengaruhi karier dilingkungan ABRI pada saat itu. Pertanyaan itu tentu wajar saja, karena memang Pak Hoegeng saat itu sebagai anggota Petisi 50 yang amat berseberangan dengan pemerintahan orde baru dan terkesan beliau dikucilkan oleh pemerintah pada saat itu. Kebetulan juga kediaman Pak Harto tidaklah terlalu jauh yaitu di jalan Cendana yang bisa saja rumah Pak Hoegeng selalu diawasi untuk melihat siapa-siapa yang bertamu kekediamannya.
Keidolaan menurut penulis dibutuhkan untuk menjadi teladan yang “hidup” dalam sanubari personil. Seorang pemimpin diharapkan dapat menjadi idola dan tentu pigur teladan dalam perubahan yang dikehendaki, karena menurut penulis perubahan semacam di lingkungan polisi akan relatif cepat apabila ada kepemimpinan yang menjadi teladan untuk perubahan itu sendiri. Kata lain antara perkataan dan perbuatan setiap pimpinan haruslah relatif sama dan memang menurut teori manajemen, inti dari pada manajemen sendiri adalah kepemimpinan atau leadership itu sendiri.

Sikap Sebagai Bentuk Analisis.

Sesungguhnya agak terkejut ketika penulis mencoba melihat mengapa persoalan isue DPT di dua Kabupaten Sampang dan Bangkalan ini diangkat oleh senior Polisi. Lebih-lebih diangkatnya isue tersebut pada saat situasi akhir-akhir ini dimana Pemilu sudah memasuki tahap-tahap inti yaitu kampanye terbuka dan tahap pencontrengan. Apalagi melihat posisi Polri dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota maupun UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Polri diposisikan sebagai aparat yang bertanggung jawab terhadap pengamanan seluruh jadual kegiatan Pemilu dan penegakan hukum tindak pidana Pemilu, bukan untuk yang lain, apalagi untuk “menghambat” dengan melemparkan isue misalnya.
Karena itulah penulis mengajak untuk menyimak kisah Khong Hu Chu dengan kedua muridnya di atas tentang adanya kebenaran besar dan kebenaran kecil dan juga mengingat pesan-pesan senior, komendan dan guru-guru kita ketika kita dalam proses pembelajaran dalam profesi kepolisian ini tentang “menyelesaikan masalah dengan tidak menimbulkan masalah”. Alhamdulillah, tanggal 27 Maret 2009 Kapolri telah menjelaskan secara khoherensif dan integrated tentang “kasus” dan duduk persoalannya serta dengan analisis manajemen strategis untuk meletakkan Polri dimasa datang dalam mempercepat mewujudkan “bangunan kepercayaan publik” kepada organisasi Polri. Sehingga kelak postur Polri yang dipercaya masyarakat (trust building) akan dapat dengan mudah membangun kebersamaan atau pathnership atau net-working atau juga jejaring dengan seluruh komponen dan stake-holders bangsa dan negara. Kapolri bagi penulis adalah guru atau “Khong Hu Chu” yang insya Alloh pesan-pesanya syarat dengan makna dalam kehidupan profesi kita, ada banyak kebenaran besar dibalik kebenaran kecil dalam penuturan itu semua.
Kemudian Presiden SBY melanjutkan cerita beliau dalam sambutan tersebut tentang “right or wrong is my country” dan “right is right, wrong is wrong” dengan kisah peperangan kerajaan Alengka dengan Rahwana sebagai rajanya dan kerajaan Ayodya dengan Rama sebagai rajanya.
Diceritakan oleh beliau bahwa pada masa perang antara kerajaan Alengka dan Ayodya yang dipimpin oleh rajanya Rama, Rahwana menculik istri Rama yang sangat dikenal bernama Dewi Shinta. Rahwana dalam kisah ini mempunyai dua adik kandung yaitu Kumbo Karno dan Wibisono. Suatu ketika Kumbo Karno menghadap kakaknya Rahwana sebagai raja negara Alengka. Kumbo Karno menyampaikan kepada Rahwana bahwa perbuatan menculik istri orang lain Dewi Shinta telah mempermalukan negara dan bangsa Alengka dan karena itu Kumbo Karno menyarankan agar Rahwana mengembalikan Dewi Shinta kepada Rama. Rahawana dikisahkan tidak menerima saran tersebut dan dia tetap pada pendiriannya untuk menyandera Dewi Shinta. Kemudian Kumbo Karno pamit keluar dan Ia tetap pergi kemedan perang membela negaranya Alengka. Dikisahkan keikut sertaan Kumbo Karno berperang melawan kerajaan Ayodya, karena Ia membela negaranya Alengka, bukan karena membela rajanya yang kebetulan kakaknya sendiri yaitu Rahwana. Kumbo Karno adalah type bhayangkara negara yang berpendapat “right or wrong is my country”. Karena itu sungguhpun suatu ketika rajanya salah, bhayangkara yang demikian akan tetap pergi kemedan perang membela negara dan bangsanya.
Kemudian giliran adiknya yang ke dua Wibisono menghadap raja Rahwana dengan maksud yang sama, yaitu menyarankan agar Rahwana mengembalikan saja Dewi Shinta kepada Rama dan peperangan dilanjutkan. Menurut Wibisono apa yang telah dilakukan oleh Rahwana adalah salah dan telah memalukan kerajaan Alengka. Tetapi Rahwana tetap pada pendiriannya dan tidak menerima saran-saran dari adik-adiknya. Kemudian Wibisono dikisahkan apabila kakaknya Rahwana tidak menerima sarannya, maka Ia berpamitan kepada Kakaknya untuk meninggalkan kerajaan Alengka. Ia bergabung dengan kerajaan Ayodya yang menurutnya mereka dalam kebenaran karena membela atas kezaliman raja Rahwana. Dikisahkan dalam cerita ini, Wibisono betul-betul menyeberang ke kerajaan Ayodya untuk membantu raja Rama memerangi Alengka. Wibisono dikisahkan menjadi penasehat utama dari raja Rama. Wibisono adalah type bhayangkara yang memiliki pendirian “right is right, wrong is wrong”.
Dari cerita ini penulis ingin mengajak bahwa tampaknya adalah sesuatu yang kita bisa pahami, ketika kita menemukan adanya perbedaan-perbedaan sikap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apalagi dalam berorganisasi ini. Diantara kita bhayangkara Polri ada yang berada pada garis “right or wrong is my country”. Tetapi penulis mengajak untuk sedikit “merenung”, janganlah menjaga jarak dengan rekan yang berada pada garis “right is right, wrong is wrong”. Saatnya sekarang bagaimana kita menjadi bhayangkara yang berada pada garis “right or wrong is my country or my organitation”, tetapi sekaligus kita menjadi bhayangkara yang memegang teguh “right is right, wrong is wrong” untuk kemaslahatan umat manusia Indonesia. Alangkah indahnya, ketika fenomena itu dibingkai dalam kemampuan untuk melihat fenomena “kebenaran kecil” dan “kebenaran besar”, adakalanya terkadang kita boleh “berbohong” untuk kemaslahatan sesama yang lebih besar. Semoga penulis senantiasa bisa belajar dari fenomena ini, karena memang “long live to learn” atau “learn never ending”. 

0 komentar:

Posting Komentar

Suara Merdeka CyberNews