Rabu, 22 Juli 2009

Penerapan Teknologi dalam Penanggulangan Terorisme

Ketidakmampuan dinas intelijen Indonesia mencegah kejutan strategis teroris, dalam hal ini dikaitkan dengan ketidakmampuan mendapatkan informasi, yang bisa dikaitkan dengan keterbatasan teknologi.
Menurut Paul Bracken : ”Cara terbaik untuk mengalahkan teroris adalah dengan menembus sel-selnya”.

Tekologi bukanlah segala-galanya. Di Amerika pun dimana teknologi canggih berawal masih kewalahan menghadapi teroris. Bagaimana mungkin?, lihat saja, untuk menangkap Osama Bin Laden sampai sekarang belum berhasil padahal segala macam teknologi dikerahkan.

Dinegara-negara maju seperti AS, setelah terjadinya serangan teroris  ia akan  menerapkan kebijakan dan sistem yang efektif sehingga tidak terjadi lagi teror-teror sejenis selanjutnya.

Dalam situs Bom Detection dikatakan, "Dalam melawan terorisme dibutuhkan perencanaan strategis, integrasi teknologi, pelatihan berstruktur, adanya kebijakan-kebijakan serta prosedur yang berkembang sesuai tingkat kebutuhan keamanan, strategi kolektif dengan institusi pemerintah, kontraktor pertahanan, integrator sistem, dan tempat-tempat yang dimungkinkan menjadi sasaran teror".

Explosives Detection Chemistry (EDC) dan Explosives Trace Detectors (ETD). mestinya harus mulai banyak dgunakan saat ini, karena EDC dan ETD merupakan alat vital yang dapat mendeteksi bahan peledak. Disinilah tantangan bagi petugas keamanan, karena bermacam bahan peledak semakin canggih dalam bentuk, bahan pembuat, warna dan lain sebagainya. Sementara itu alat terdapat keterbatasan dalam alat deteksinya. Seperti yang dilansir dalam situs BomDetection, alat ini mampu mendeteksi bahan peledak jenis apa pun seperti C4, TNT, dan PETN.

Sistem deteksi jejak bahan peledak kreasi AI yang dikenal dengan nama XD-2i menggunakan ilmu kimia analitik khusus untuk mendeteksi bahan peledak. ETD bisa dengan cepat dan andal mendeteksi bahan peledak komersial, militer, dan buatan rumahan, seperti bahan peledak cair, serbuk hitam, nitroselulosa, bubuk senapan tanpa asap, ANFO, nitrat, nitro-aromatik, bahan peledak plastik, peroksida, klorat, dan lainnya.

Seperti disinggung oleh dosen filsafat politik Armada Riyanto, dalam tulisannya di harian kompas 21/7, Erich From telah mengingatkan bahwa teror merupakan produk tindakan sistematis. Ada rancangan, kepastian metodologi, target, sistem perekrutan, pelatihan, organisasi, dan tentu saja ideologi.

Karena itu , langkah-langkah untuk menghadapinya tidak bisa setengah-setengah dan asal-asalan. Dengan pengalaman tragis beberapa kali di Tanah Air, tampak jelas bahwa selain alat/sarananya tidak memadai, konsepnya pun tampaknya perlu dirombak total.

Pengamat militer F Djoko Poerwoko mengatakan, saat ini di Indonesia hanya ada satu badan intelijen strategis, yakni Badan Intelijen Negara (BIN). Sementara dinegara lain seperti Australia ada lima, yakni Office of National Assessments (ONA), Australian Secret Intelligence Service (ASIS), Australian Security Intelligence Organisation (ASIO), Defence Intelligence Organisation (DIO), dan Defense Signal Intelligence (DSI). (Angkasa, Edisi Koleksi, ”Menguak Tabir Operasi Intelijen dan Spionase”, 2009).
David Owen dalam bukunya, Hidden Secrets: A Complete History of Espionage, and the Technology Used to Support It (2002), menjelaskan sejumlah istilah yang relevan dengan urusan kita hari-hari ini, yakni HUMINT (human intelligence) untuk pengintaian manusia, SIGINT (signal intelligence) yang terkait penguraian pesan dan analisis trafik, ELINT (electronic intelligence) yang melibatkan sensor jarak jauh dan pengintaian satelit. Tidak kalah seru false intelligence, yang di dalamnya ada upaya-upaya pengelabuan, misinformasi, dan agen ganda.

Ketika terjadi lagi ledakan bom di Ritz-Carlton dan Marriott, sudah saatnya bagi Indonesia merombak dinas intelijennya, baik struktur, operasi, maupun teknologi yang diterapkannya.
Sumber : KompasCom

0 komentar:

Posting Komentar

Suara Merdeka CyberNews