Hukumonline.com. Australia merupakan salah satu negara pertama yang memperkenalkan Undang-Undang Kejahatan Seksual Terhadap Anak dalam Wisata. Crimes (Child Sex Tourism) Amendment Act 1994 –-nama Undang-Undang itu—memungkinkan turis asal Australia diproses hukum di negaranya jika terbukti melakukan tindak pidana pornografi anak di luar negeri. Mereka yang menjalankan aktivitas mendapatkan keuntungan dari bisnis pornografi di negara tujuan wisata juga bisa dijerat Undang-Undang yang mulai berlaku 5 Juli 1994 ini. Ancaman hukuman bisa 20 tahun penjara dan atau denda hingga 500 ribu dolar Australia.
Anggota Polisi Federal Australia, Brad Shallies, menjelaskan proses penuntutan terhadap pelaku yang warga negara Australia bisa dilakukan di negara asal. “Itu kalau di negara tempat terjadinya pornografi anak itu proses hukum tidak bisa berjalan,” kata Brad saat tampil sebagai pembicara dalam seminar Online Child Pornography yang diselenggarakan Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Rabu (03/6) siang.
Selain Australia, negara yang menganut prinsip serupa antara lain Amerika Serikat melalui Protect Act (April 2003), Inggris lewat Sexual Offences Act 2003, dan hukum pidana (Criminal Code) Kanada. Prinsip yang berlaku sama, warga negara yang melakukan kejahatan pornografi anak di luar negeri bisa diadili di negara asalnya. Tony Gerald Ainscough, warga negara Australia, yang diduga mencabuli anak-anaknya di Indonesia pada 2008 silam akhirnya dideportasi ke negara asal. Di sana, seperti dituturkan penyidik Unit V IT dan Cybercrime Mabes Polri, AKBP Laksmi Damayanti, Tony diproses hukum dan diadili.
Untuk membongkar kasus-kasus pornografi anak yang melibatkan warga Australia di luar negeri, diakui Brad, bukan pekerjaan gampang. Proses investigasi sering mengalami kesulitan, termasuk dalam hal rekrutmen tenaga investigasi. Pengelolaan materi yang disita dan penyajiannya di persidangan pun harus dilakukan hati-hati. Apalagi, perbuatan ini termasuk kejahatan yang sangat dibenci oleg masyarakat. Beruntung, Polisi Federal Australia (Australian Federal Police/AFP) menjalin komunikasi dan kerjasama yang intensif dengan jaringan polisi dunia. “AFP punya jaringan global,” ujar Brad. Dengan polisi Indonesia, AFP membentuk badan yang disebut Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC).
Cuma, dalam praktik, proses hukum terhadap wisatawan pelaku pornografi anak tidak segampang membalik telapan tangan. Jika Indonesia sebagai negara tempat kejahatan dilakukan juga berkeinginan memproses wisatawan Australia, misalnya, sistem hukum kedua negara sangat menentukan. Kasus Peter Walbran, warga negara Australia, gagal diekstradisi ke Indonesia gara-gara Kejaksaan tidak memberikan affidavit seperti diminta Australia.
Pemberatan dalam hukum Indonesia
Keberlakuan hukum nasional kepada warga negara yang melakukan kejahatan pornografi di luar negeri merupakan bentuk ketegasan politik hukum terhadap para pelaku tindak pidana pornografi anak. Edmon Makarim, Pelaksana Tugas Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Bidang Hukum, menjelaskan bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan Indonesia juga menerapkan saksi tegas kepada pelaku kejahatan terhadap anak.
Bahkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dijadikan sebagai dasar pemberat hukuman. Edmon menunjuk ketentuan pasal 52, yang merumuskan tindak pidana yang menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
Pasal 52 ini merujuk pada tindak pidana yang diatur pasal 27 ayat (1), yakni melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi/dokumen elektronik yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan. Cuma, Edmon mengkritik rumusan pasal 27 ayat (1) UU ITE yang tidak bisa menjangkau pembuat dan pengguna materi kesusilaan.
Meskipun demikian, bukan berarti pembuat materi pornografi anak bisa lolos. Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tegas merumuskan larangan bagi setiap orang untuk memproduksi, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat pornografi anak.
0 komentar:
Posting Komentar