I. PENDAHULUAN
1. Dalam tindak pidana perdagangan orang (T.P.P.O), saksi korban merupakan satu-satunya orang yang mengalami seluruh rangkaian kasus, dan ia merupakan sumber informasi yang paling penting dan akurat, oleh karenaya perlakuan terhadap saksi korban adalah penghargaan sebagai manusia bermartabat, hak untuk memberikan dan mendapatkan informasi, hak untuk mendapatkan perlindungan dalam setiap tahapan proses pemeriksaan tindak pidana, guna pengungkapan kebenaran materiil dan penegakan hukum.
2. Hak terhadap korban dalam konteks T.P.P.O selain di atur dalam KUHAP, yang mengadopsi Universal Declaration of Human Rght dan International Convention Civil and Political Rights (I.C.C.P.R), juga diatur dalam pasal 43, 44 P.T.P.P.O (UU No. 21 Tahun 2007) yang menyatakan : “Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2006, dimana dalam pasal 5 disebutkan” :
1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
4) Mendapat penerjemah;
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6) Mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan;
7) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
8) Mendapat identitas baru;
9) Mendapatkan tempat kediaman baru;
10) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan;
11) Mendapat nasihat hukum, dan atau ;
12) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
4) Mendapat penerjemah;
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6) Mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan;
7) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
8) Mendapat identitas baru;
9) Mendapatkan tempat kediaman baru;
10) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan;
11) Mendapat nasihat hukum, dan atau ;
12) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
3. Perdagangan orang adalah jenis tindak pidana “Under Reported Crime”, yaitu kasus yang korban tidak mempunyai kesempatan melaporkan kepada polisi atau takut melapor kasus yang menimpanya, maka dalam praktek ditemukan sekurang-kurangnya 7 modus operandi, yaktu :
1) Eksploitasi buruh migram;
2) Ekpsloitasi prostitusi;
3) Kerja paksa;
4) Training atau pelatihan;
5) Penculikan;
6) Pengantin pesanan
7) Kawin kontrak.
1) Eksploitasi buruh migram;
2) Ekpsloitasi prostitusi;
3) Kerja paksa;
4) Training atau pelatihan;
5) Penculikan;
6) Pengantin pesanan
7) Kawin kontrak.
4. Bahwa tindak pidana perdanganan adalah sebagai kejahatan kemanusiaan yang sangat serius, sifatnya mendesak, disebabkan :
1) Perdagangan orang dianggap sebagai industri paling menguntungkan;
2) Perdagangan orang adalah MODERN DAY SLAVERY (perbudakan modern);
3) Perdagangan adalah bentuk pelanggaran HAM;
4) Perdagangan orang adalah bentuk kejahatan terorganisir.
1) Perdagangan orang dianggap sebagai industri paling menguntungkan;
2) Perdagangan orang adalah MODERN DAY SLAVERY (perbudakan modern);
3) Perdagangan adalah bentuk pelanggaran HAM;
4) Perdagangan orang adalah bentuk kejahatan terorganisir.
Mengingat hal tersebut, Negara bertanggung jawab untuk member perlindungan terhadap warga negaranya agar tidak menjadi korban atau dirugikan dari perbuatan melawan hukum tersebut, oleh karena itu dalam rangka menjalankan kewajibannya, Negara melahirkan UU P.T.P.P.O, dimana UU ini merupakan prestasi karena bersifat komprehensif, mencerminkan ketentuan yang diatur dalam protocol P.B.B,mempunyai kesepakatan dengan komunitas internasional tentang bagaimana melihat perdagangan orang sebagai kasus yang multi kompleks dan harus ditangani secara komprehensif melalui 5 langkah yaitu :
1) Penindakan;
2) Pencegahan;
3) Rehabilitasi sosial;
4) Perlindungan bagi korban;
5) Kerja sama dan peran serta masyarakat.
Dari permasalahan tersebut menjadi kewajiban aparat penegak hukum melakukan upaya-upaya penerapan dan penegakan hukum secara profesional.
II. DASAR HUKUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDANGANAN ORANG.
II. DASAR HUKUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDANGANAN ORANG.
1. UU P.T.P.P.O : yang diatur dalam UU No. 21 tahun 2007, tanggal 21 April 2007.
2. Terdapat pula ketentuan-ketentuan pidana yang terkait dalam pemberantasan tindak perdagangan orang / P.T.P.P.O, yaitu :
a. KUHP, Khususnya :
1) Pasal 263 : Tentang Pemalsuan Surat;
2) Pasal 277 : Tentang Mengaburkan Asal Usul Seseorang;
3) Pasal 278 : Tentang Pengakuan palsu seorang tersangka sebagai anak sendiri;
4) Pasal 285 : Tentang Perkosaan;
5) Pasal 286 : Tentang Persetubuhan dengan perempuan yang pinsan atau tidak berdaya;
6) Pasal 287 : Tentang Persetubuhan dengan anak perempuan di bawah 15 tahun;
7) Pasal 288 : Tentang Persetubuhan dengan Istri yang belum masa dikawinkan;
8) Pasal 289 : Tentang Perbuatan cabul atau susila;
9) Pasal 290 : Tentang Perbuatan asusila terhadap orang yang tidak berdaya;
10) Pasal 292, 293 : Tentang Perbuatan cabul dengan anak-anak belum dewasa;
11) Pasal 294 : Tentang Perbuatan cabul dengan penyalahgunaan kekuasaan;
12) Pasal 295 : Memfasilitasi (memudahkan) perbuatan asusila dengan orang belum dewasa;
13) Pasal 296 : Memudahkan perbuatan cabul sebagai mata pencaharian/ pekerjaan atau kebiasaan;
14) Pasal 301 : Memperkerjakan orang di bawah umum sebagai pengemis atau pekerjaan berbahagia;
15) Pasal 304 : Meninggalkan orang yang perlu ditolong;
16) Pasal 328 : Penculikan;
17) Pasal 329 : Membawa pekerja ketempat kerja lain dari pada yang diperjanjikan;
18) Pasal 330 : Melarikan orang yang belum dwasa dari kekuasaan orang berhak;
19) Pasal 331 : Menyembunyikan orang atau mencabut orang belum dewasa dari penyidikan;
20) Pasal 332 : Melarikan perempuan belum dewasa;
21) Pasal 333 : Dengan sengaja tanpa hak merampas kemerdekaan seseorang;
22) Pasal 334 : Karena kelalaian terampasnya kemerdekaan seseorang;
23) Pasal 335 : Memaksa orang lain melakukan/tidak melakukan sesuatu;
24) Pasal 336 : Ancaman dengan kejahatan-kejahatan khusus;
25) Pasal 351 : Penganiayaan;
26) Pasal 352 : Penganiayaan ringan;
27) Pasal 353 : Penganiayaan dengan perencanaan terelbih dahulu;
28) Pasal 354 : Penganiayaan berat;
29) Pasal 355 : Penganiayaan berat dengan perencanaan terlebih dahulu;
30) Pasal 362 : Pencurian;
31) Pasal 365 : Pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
32) Pasal 368 : Pemerasan;
33) Pasal 369 : Ancaman;
34) Pasal 378 : Penipuan;
35) Pasal 506 : Mucikari (souterkur).
b. UU NO. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri (Aspek Pidana).
c. UU NO. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
d. UU NO. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
e. UU NO. 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang TIndak Pidana Pencucian Uang.
f. UU NO. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1991 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
g. UU NO. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
h. UU NO. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.
i. UU NO. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
j. UU NO. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
k. UU NO. 9 Tahun 1992 tentang keimigrasikan.
III. PROSES PERADILAN.
1. Beberapa Pengertian
a. Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007 :
Perdagangan Orang :
“Adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan penjeratan utang atau member bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.b. Pasal 1 Angka 7 :
Eksploitasi :
“Adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum meniadakan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial”.c. Pasal 1 Angka 8 :
Eksploitasi Seksual :
“Adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan”.
2. Proses Penyidikan.
a. Berdasarkan pasal 28 UU No. 21 Th. 2007 tentang T.P.P.O, proses penyidikan adalah berdasarkan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.
a. Berdasarkan pasal 28 UU No. 21 Th. 2007 tentang T.P.P.O, proses penyidikan adalah berdasarkan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.
b. Berdasarkan KUHAP (UU No. 8 Th. 1981) maka proses penyidikan adalah mengumpulkan alat bukti yang sah untuk membuat terang tindak pidananya yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP, yaitu :
1) a. Keterangan Saksi.
b. Surat.
c. Petunjuk.
d. Keterangan Terdakwa.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui, tindak perlu dibuktikan (NOTOI REFEIT).
c. Selain berdasarkan kepada KUHAP, dengan pasal 29 UU T.P.P.O, dikenal alat bukti baru yaitu :
Berupa informasi :
1) Yang diucapkan :
- Dikirim.
- Diterima.
- Disimpan secara elektronik.
- Dengan alat optik.
- Dengan alat serupa.
2) Yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar : data, atau rekaman yang dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana.
- Baik yang tertuang di atas kertas.
- Benda fisik ataupun selain kertas.
- Atau terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :
(1) Tulisan, surat atau gambar.
(2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, atau
(3) Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki
(4) Makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
d. Dimungkinkan pula alat bukti dalam kasus T.P.P.O dengan menggunakan UU No. 11 Th. 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yaitu pada pasal 44 huruf b. yang berupa :
“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Elektronik Data Interchange (EDI), Surat Elektronik (Elektronik Mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang telah di olah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
3. Proses Sidang Pengadilan.
a. Sidang dapat dengan Teleconference, dalam hal saksi dan / atau korban tidak dapat hadir di persidangan (pasal 34).
b. Saksi / korban dapat didampingi advokat dan / atau pendamping lain yang dibutuhkan (al: psikolog, psikiater, ahli kesehatan, rohaniawan, dan anggota keluarga) (pasal 35).
c. Korban berhak dapat informasi tentang perkembangan kasus (pasal 36).
d. Saksi dapat didengar tanpa hadirnya terdakwa (pasal 37).
e. Dapat diputus secara IN ABSENSIA.
f. Dapat digunakan alat bukti dokumen elektronik sesuai UU No. 11 Th. 2008 pasal 44.
4. Proses Penuntutan.
Sesuai dengan KUHAP dan juga sesuai dengan UU T.P.P.O dan UU No. 11 Th. 2008.
IV. PENCEGAHAN T.P.P.O.
1. Upaya-upaya preventif (pencegahan) seyogyanya terfokus pada akar penyebab perdagangan orang, yang dapat ditelusuri, yaitu :
a. Faktor-faktor Ekonomi :
- Kemiskinan.
- Pengangguran.
- Jeratan Utang.
- Dll.
b. Faktor Sosial Budaya :
- Kekerasan terhadap perempuan.
- Diskriminasi jender.
- Tradisi dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
c. Faktor Legal / Hukum :
- Legislasi yang tidak tepat guna.
- Korupsi di sektor publik.
d. Faktor Internasional :
- Globalisasi kerja dan kecenderungan feminisasi migrasi pekerjaan pada satu sisi.
- Kebijakan-kebijakan migrasi yang diskriminatif atau restortifelasi Negara-negara penerima (permintaan tenaga kerja murah, tenaga dan jasa buruh migrant yang tidak terlindungi dan mudah dieksploitasi).
e. Faktor perlindungan hukum yang tidak memadai, dengan kerentanan terhadap penyalahgunaan dan eksploitasi buruh manusia pada pihak lain.
1. Upaya-upaya preventif (pencegahan) seyogyanya terfokus pada akar penyebab perdagangan orang, yang dapat ditelusuri, yaitu :
a. Faktor-faktor Ekonomi :
- Kemiskinan.
- Pengangguran.
- Jeratan Utang.
- Dll.
b. Faktor Sosial Budaya :
- Kekerasan terhadap perempuan.
- Diskriminasi jender.
- Tradisi dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
c. Faktor Legal / Hukum :
- Legislasi yang tidak tepat guna.
- Korupsi di sektor publik.
d. Faktor Internasional :
- Globalisasi kerja dan kecenderungan feminisasi migrasi pekerjaan pada satu sisi.
- Kebijakan-kebijakan migrasi yang diskriminatif atau restortifelasi Negara-negara penerima (permintaan tenaga kerja murah, tenaga dan jasa buruh migrant yang tidak terlindungi dan mudah dieksploitasi).
e. Faktor perlindungan hukum yang tidak memadai, dengan kerentanan terhadap penyalahgunaan dan eksploitasi buruh manusia pada pihak lain.
2. Dari fokus akar penyebab perdagangan orang, maka langkah preventif berikutnya ialah :
a. Penguatan posisi kelompok yang potensial terkena pengaruh praktik perdagangan orang.
b. Pembuatan peraturan yang melindungi mereka.
c. Meminimalisasi dampak marjinalisasi dan stigmatisasi.
a. Penguatan posisi kelompok yang potensial terkena pengaruh praktik perdagangan orang.
b. Pembuatan peraturan yang melindungi mereka.
c. Meminimalisasi dampak marjinalisasi dan stigmatisasi.
3. Aparat Pencegahan Perdagangan Orang :
Berdasarkan pasal 57 UU T.P.P.O, yang wajib melaksanakan pencegahan T.P.P.O adalah :
a. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga.
b. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.
c. Adapun instansi pemerintah yang wajib melaksanakan pencegahan adalah yang menjalankan urusan :
1) Pemerintah pusat :
- Bidang Pendidikan;
- Ketenagakerjaan;
- Hukum dan HAM;
- Komunikasi dan informasi.
2) Pemerintah Daerah :
3) Provinsi;
4) Kabupaten/Kota. 4. Adapun kegiatan penanganan pencegahan, meliputi
a. Pemantauan;
b. Penguatan;
c. Peningkatan kemampuan penegak hukum;
d. Peningkatan kemampuan para pemangku kepentingan.
AKBP. OH. NAPITUPULU, SH
ADVOKAT / PENASEHAT HUKUM PADA
BIDBINKUM POLDA JABAR
ADVOKAT / PENASEHAT HUKUM PADA
BIDBINKUM POLDA JABAR
0 komentar:
Posting Komentar